Kamis, 31 Juli 2008

TENTANG SENDIRI DI TENGAH KEBERSAMAAN

Dua puisi berikut bercerita tentang hidup di kota, di tengah keramaian, kesibukan. Betapa kadang kesibukan, mengisyaratkan kesejajaran namun tak ada temu pandang. Lalu rindu mengejan. Atas kesederhanaan jumpa meradang. Perjumpaan jadi sesuatu yang mesti dimanjakan, direncanakan, dibuatkan acara-acara. Namun karena kesejajaran itu membelenggu, maka kadang akhirnya kita menunggu jemputan Sang Khalik, Rabb Yang Pengasih yang menjadi pemaksa bagi kita. Melalui sakit, kita dipaksa berjumpa. Melalui duka, kita dipaksa berjumpa. Pun kita dapat berjumpa melalui upacara pernikahan dan sebagainya. Dan itu lah potret duka orang kota. Sederhana, seadanya, namun begitu akrab dengan degup jantung kita. Selebihnya, biarkan semua mengajarkan kepada kita.

Inkonsisten (1)

Kita mungkin sekota
Namun tak sepi benar suasananya
Sungguh hidup kita termanja


Kita mungkin sejalan
Namun tak penat benar kita arungi perjalanannya
Sungguh hidup kita terbahana


Kita mungkin sebiduk
Namun tak lega benar luah cengkeramanya
Sungguh hidup kita sealis maya


Jatiwaringin, 07 September 2003




Aku Sakit

Aku sakit mengapa engkau tak menjengukKu ?
Demikian rindu menanyakan harummu
Dan paras mengalir tertanya tujumu
Sesawahlah yang Aku di alirmu

Namun tentu Engkau tak ingin benar lenyap, walau pun
aku masih ingin menyakitiMu karena AgungMu belum Nyata benar di mataku
Di sergahku Engkau pasti senantiasa Ada
Menjaga Diri dan bebayang buana dengan Cinta Rahasia
Sungguh
Diri benar Engkau walau tak sekelebat pun ku tatap
Semoga Engkau yang tak pernah kuketahui RahasiaMu
Yang pernah tak terlihat olehku


Atau
Sungguh tega benar bila aku tak lega atas sendiri AkuMu
Yang mesti berharga walau rinduku ternyata hanya buih selaksa
Dan mohon ampunku atas semua yang prasangka
Atas KeAkuanMu yang senantiasa Ada
Esok bila Kau sakit, tentu biarlah aku lenyap dalam DiriMu
Agar benar derita keAkuanMulah Yang Ada
Dan sejuta suara adalah benar bangga AgungMu di Diam AkuMu

Tidak ada komentar: